Hai Sobat Sudah lama nian dari postingan terakhir pada blog ini, sekarang saya ingin berbagi mengenai salah satu istilah kebijakan yang sangat berhubungan dengan negara kita di masa lampau dan samapai saat in dampaknya masih terasa, itulah yang disebut dengan Trickle Down Effect (dalam konteksnya dengan pembangunan ekonomi). Pernah dengar kata yang satu ini? kalau saya sih denger ketika mengikuti kuliah ekonomi pembangunan kemarin dan kayaknya sebelumnya juga pernah dengar tetapi kayaknya lewat begitu saja. Meskipun Cuma sekali seumur hidup, saya yakinsobat semua pernah  mendengar kata ini. Merasa belum pernah dengar? Coba ingat – ingat lagi,  pasti sobat lupa. Kenapa? Karena pada dasarnya pembangunan  ekonomi di Indonesia, sejak zaman Orde Baru, berbasiskan pada kebijakan  ini. Begitu juga dengan pembangunan ekonomi di banyak negara lain. Apa  sih, yang dimaksud dengan Trickle Down Effect ini?
Perumpamaannya begini; misalnya anda berjalan – jalan ke sebuah  tebing, dan ketika anda melongok ke bawah, anda melihat ada 3 orang yang  terikat di tali dan menempel di tebing, kelelahan dan tidak sanggup  meneruskan panjat tebing mereka. Anda berinisiatif menolong mereka, dan  anda memutuskan untuk menolong pemanjat yang tertinggi untuk anda tolong  terlebih dahulu dan untuk selanjutnya akan berharap bahwa dia akan  membantu anda menolong dua orang lainnya. Tolong yang lebih tinggi lebih  dulu, dan yang posisinya lebih rendah bisa diangkat nantinya.
Di atas adalah perumpamaannya, dan beginilah penyederhanaan kebijakan Trickle Down Effect:  Bayangkan, anda adalah seorang kepala klan dengan tanggungan sekitar  5000 orang. Klan anda secara umum merupakan orang – orang pengangguran  miskin, dengan sedikit orang yang memiliki harta lebih dibanding yang  lain dan memiliki bisnis yang lumayan, namun lapangan kerja yang  dihasilkan belum cukup untuk menyerap seluruh orang di desa tersebut.  Kebetulan anda baru diangkat dan memiliki sejumlah emas warisan dari  ayah anda, ketua klan yang mangkat. Anda ingin mensejahterakan seluruh  anggota klan anda, namun anda merasa bahwa harta yang anda miliki  tentunya tidak akan efektif jika harus dipinjamkan (apalagi dibagikan)  untuk seluruh anggota klan agar mereka semua dapat memulai sebuah  wirausaha, karena jumlah yang diterima warga akan sedikit dan belum  tentu para warga akan mampu secara efektif mengelola emas tersebut. Lalu  anda berpikir untuk menguatkan bisnis sejumlah orang berkecukupan yang  sudah ada agar mereka bisa memperbesar usaha mereka, melakukan ekspansi  bisnis, menyerap lebih banyak tenaga kerja dan memicu timbulnya bentuk  wirausaha lain. Anda berharap bahwa dengan begitu roda perekonomian  dapat berputar lebih kencang. Inilah yang disebut dengan Trickle Down Effect, di mana kenaikan kapasitas atau kemampuan ekonomi orang – orang kaya akan menggulirkan (Trickle Down) peningkatan kesejahteraan pula pada kalangan menengah ke bawah.
Istilah Trickle Down Effect pertama kali dikeluarkan oleh Ronald  Reagen dalam suatu pidato pada Januari 1981 di mana dia mengumumkan  pemotongan pajak besar – besaran bagi orang – orang kaya, suatu  keistimewaan yang dia klaim akan “merembes” ke seluruh rakyat.Dalam  ecyclopediaofmarxism.com dijelaskan bahwa “The trickle-down  effect is a now-discredited theory of distribution which holds that the  concentration of wealth in a few hands benefits the poor as the wealth  necessarily “trickles down” to them, mainly through employment generated  by the demand for personal services and as a result of investments made  by the wealthy.“Kebijakan Trickle Down Effect  menempatkan orang berpunya sebagai ujung tanduk pembangunan  perekonomian. Kapasitas ekonomi mereka ditingkatkan, dengan memberikan  kemudahan pendanaan, membangun sarana dan infrastruktur untuk mendukung  bisnis mereka, memberikan kemudahan pajak dan perizinan, dll. Seperti  yang ditulis di salah satu blog (maaf ya, lupa nyimpen urlnya, jadi lupa  penulisnya,hehe) ” Dengan dibukanya akses dan pendanaan secara  menyeluruh terhadap segala aktivistas maka investasi domestik diharapkan  akan berjalan dan berlipat dengan semakin gencarnya fokus pada sektor  bisnis infrastruktur serta pasar keuangan sehingga pada gilirannya skema  ini akan menciptakan sebuah struktur kapasitas produksi yang meningkat.  Produksi yang menggeliat akan menggiring harga-harga pada tingkat yang  lebih rendah dan menciptakan lapangan kerja untuk para kelas menengah  dan menengah kebawah.”
Yap, di atas merupakan konsepsi ideal dari Trickle Down Effect.  Jika betul – betul berjalan sesuai dengan konsepsi ideal tersebut, maka  seharusnya pembangunan ekonomi yang berjalan dengan mengupayakan Trickle Down Effect tersebut  seharusnya bisa membawa kemakmuran. Tapi, mengapa kondisi nyatanya  belum seperti itu, seperti yang kita lihat di Indonesia? Mari balik lagi  pada perumpamaan di atas: Katakanlah, anda telah berhasil menarik orang  paling tinggi dalam panjat tebing tersebut, atau dalam kata lain, orang  yang terdekat dengan anda. Harapan anda, setelah dia berhasil ditarik,  maka dia akan turut membantu menarik orang yang masih ada di bawah.  Namun, ternyata orang itu menolak untuk membantu menarik orang yang ada  di bawah, dan malah berleha – leha sendiri. Maka jadilah anda sendiri  yang harus menarik orang yang masih ada di bawah. Cukup menyusahkan,  bukan?
Hal yang sama juga bisa terjadi dalam kasus perumpamaan di atas.  Setelah anda memberikan berbagai bantuan pinjaman pada orang – orang  yang berpunya di desa anda, kaum berpunya tersebut alih – alih turut  membangun desanya melalui bisnis mereka, malah berinvestasi di desa  sebelah, yang dianggap lebih makmur, prospektif, dan menjanjikan  keuntungan lebih. Jadilah orang – orang kaya tersebut semakin kaya, dan  orang – orang miskin tetap terpuruk. Pembangunan desa gagal dijalankan.
Nah, sudah cukup mengerti bukan? Kegagalan pembangunan ekonomi yang memanfaatkan Trickle Down Effect  berhulu pada kalkulasi untung rugi orang kaya tersebut. Secara alamiah,  mereka akan menghindari untuk menanamkan modal pada negara yang kurang  makmur dan prospektif, dan lebih cenderung untuk berinvestasi di negara –  negara kaya. Jika melihat kondisi perekonomian dalam negeri tidak  kondusif, tidak profitable, maka mereka akan mengalihkan  kekayaan mereka untuk diinvestasikan di luar negeri.  Tidak tahu terima  kasih dan nasionalis? Uang tidak perlu berterima kasih dan tidak  mengenal nasionalisme kawan! Ini masih terkait dengan dengan teori  dependensi dalam konfigurasi sistem internasional (belum tahu teori  dependensi? akan dijelaskan dalam tulisan berikutnya….)
Di Indonesia, pembangunan yang berusaha memanfaatkan Trickle Down Effect  sudah berusaha dilakukan sejak masa Orde Baru. Pada masa OrBa,  haluan  politik luar negeri Orde Lama yang revolusioner, anti-imperialisme  bersifat sangat konfrontatif diubah menjadi apa yang disebut sebagai  “diplomasi pembangunan” yang bersifat kooperatif dengan negara – negara  Barat. Tujuan utamanya adalah untuk mencari bantuan luar negeri untuk  pembangunan ekonomi. Berdasarkan blueprint pembangunan yang  dibuat oleh para teknokrat, dan yang juga merupakan resep pembangunan  dari berbagai Lembaga bantuan asing, bantuan dana tersebut digunakan  untuk memperkuat basis bisnis berbagai perusahaan dan konglomerasi yang  sudah ada. Tujuannya, tentu untuk menghasilkan Trickle Down Effect  yang sudah dijelaskan di atas.  Namun, meski secara makro kinerja  ekonomi kita terlihat sangat impresif, namun pada kenyataannya  kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin semakin meningkat.  Kenapa hal ini terjadi? Karena Trickle Down Effect yang  diharapkan tidak berlangsung sempurna. Kekayaan golongan berpunya terus  mengalir ke luar negeri, dan semakin memperkaya golongan tersebut.  Golongan miskin yang mempunyai akses terbatas terhadap modal dan  teknologi semakin tertinggal. Vonis umum menyatakan bahwa akar dari  segala akar permasalahan adalah korupsi. Korupsi memang amoral, namun  bukan dampak secara langsung yang menghancurkan perekonomian, seperti  yang diargumenkan dalam blog yang menjadi rujukan saya, “Korupsi  memang melanggar batas norma, sebagaimana korupsi memang memuakkan.  Premis ini berujung pada kesimpulan bahwa korupsi mengkerdilkan  pembangunan. Anggapan ini boleh jadi benar apabila hasil korupsi  mengalir keluar negeri, akan tetapi akan beda hasilnya jika harta hasil  korupsi diinvetasikan ke dalam negeri. Hal ini sejalan dengan asumsi  yang telah dijabarkan panjang lebar diatas mengenai sker ide trickle down effect yaitu investasi domestik.”  Hal ini bukan berarti kita menjustifikas korupsi, namun adalah salah  apabila usaha untuk meningkatkan perekonomian hanyalah dengan  memberantas korupsi.
Karena kekayaan yang semakin mengalir ke golongan berpunya, maka kebijakan Trickle  Down Effect dianggap pro status quo, atau menopang sesuatu yang sudah kuat dan berkuasa. Trickle Down Effect banyak diserang, terutama oleh kalangan sosialis dan penganut Post Development, dan dianggap tidak pro rakyat miskin.
Demikian itu adalah sebuah penjelasan sederhana mengenai Trickle Down Effect.  Jika dianggap mewakili suatu ideologi ekonomi tertentu, yah, kebebasan  anda. Yang jelas, saya tidak dengan ekstrem menganut satu ideologi  ekonomi tertentu, hal terpenting adalah seluruh rakyat sejahtera. Trickle Down Effect ini pun mempunyai kelogisannya sendiri. Pokoknya, gitu dah!hehe. See ya at the next series. =D 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar